Jangan pernah menyalahkan kata dari yang mulut anda keluarkan dan bahasa
dari yang lidah anda suarakan. Karena pada dasarnya bahasa yang kita
gunakan adalah suatu konfigurasi antara lidah dan mulut. Entah apa yang
salah, kenapa orang Sunda begitu susah menyebut huruf 'F" dan "V" dengan
baik dalam percakapan, dan juga orang suku batak hanya bisa berucap
huruf "e" seperti e dengan accent taigu dalam bahasanya Zinedine Zidane.
Satu hal yang selalu saya ceritakan ke setiap orang adalah pengalaman
berada dalam 2 organisasi yang hanya berbeda huruf awal, tapi dengan
objek yang sama, lalu kedua organisasi itu dapat berjalan beriringan
tanpa memperdulikan perbedaan. Objek organisasi itu adalah antara kata
Perancis dan Prancis. Tahun 1999, ketika pertama kali menginjakan kaki
di Fakultas Sastra, hati langsung tergelak, menahan senyum terkulum
manakala melihat di salah satu ruangan himpunan mahasiswa, disana
tertulis : HIMAPRA, Himpunan Mahasiswa (Bahasa) Prancis dan HIMAPER,
Himpunan Mahasiswa (Sastra) Perancis wkwkwkwk, sangat kreatif. Lalu
kemudian, karena saya masuk di sastra Perancis, maka saya masuk menjadi
anggota HIMAPER, bukan HIMAPRA. Tapi selama beraktivitas di situ, belum
pernah ada sekalipun orang - orang mempermasalahkan hal ini, bahkan
mahasiswa sastra Indonesia sekalipun, tidak pernah saya dengar membahas
perbedaan Perancis dan Prancis, apa mungkin memang tidak peduli atau
memang kata Perancis dan Prancis, dapat digunakan dua-duanya. Moga
dugaan saya yang terakhir yang benar.
Coba juga perhatikan tajwidz yang dulu kita pernah pelajari saat masih
kecil, saat memulai belajar mengaji. Guru mengaji mengajarkan satu
rumus, yaitu iqlab, dimana apabila ada huruf nun mati bertemu dengan
huruf "ba", maka nun tersebut berubah menjadi huruf "m", misalnya "min
ba'di, maka dibacanya adalah "mim ba'di". Namun ternyata, kalau kita
perhatikan dalam bahasa percakapan sehari-hari, khususnya dalam bahasa
sunda, terdapat suatu kebiasaan dimana sebuah suku kata yang dimulai m,
biasanya jadi diikuti oleh huruf "B". Saya ambil contoh, "samoja"
menjadi "samboja"; "selimut" menjadi "selimbut", ada juga contoh2
kata-kata lain, coba anda cari sendiri hihihi.......... Sedangkan buat
para ustad, coba anda perhatikan, jika mereka mengucapkan kata yang ada
huruf P, pasti akan terdengar seakan-akan mereka berkata dengan huruf
"F", hal ini (mungkin) karena dalam bahasa arab tidak ada kata dengan
huruf "P", tapi yang ada adalah dengan "f". Hal ini yang saya sering
dengar saat Pa Nana, guru ngaji saya, menasihati agar "tidak lufa sholat
lima waktu" (menggunakan huruf "f" pada kata "lupa") hihihi.
Lalu, coba anda suatu waktu datang mengunjungi salah satu sekolah dasar
di kota-kota di Jawa Barat pada hari Senin Pagi, disaat mereka sedang
melaksanakan upacara bendera. Jangan anda terheran-heran, jika anda
tidak mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan pada saat
pengibaran bendera. Tapi yang akan anda dengar adalah lagu "Endonesia
Raya" dengan huruf 'E".
Gak adil lah bagi kita untuk mempermasalahkan kebiasaan berbahasa dengan
bagaimana seharusnya kita berbahasa. Tapi satu hal yang harus dipahami,
satu huruf yang berbeda, dapat memberi arti yang berbeda. Wajarlah jika
"Aqua" protes terhadap produsen air mineral yang ber merk "Agua", dan
produsen celana jeans "Levi's Strauss" berang menemukan sebuah celana
jeans dengan brand "Lepis" hihihi.
Jadi wajarlah jika seorang Bela kemudian sering protes jika ada seorang
kawan menulis namanya dengan huruf double L, menjadi "Bella", bukan
gimana gimana, tapi rasanya tidak pantas, jika seorang manusia bernama
"Bella" tapi ternyata brewokan dan berjanggut.
29 Oktober 2012
at 8:12 PM
Sumber : http://abatabee.blogspot.com/2012/10/bela-dan-bella.html
0 Comments:
Post a Comment