Namaku, Belang, awalnya entah kenapa orang tua saya memberi nama yang
begitu simpel dan mudah diingat. Namun seiring usia bertambah, saya baru
mengerti kenapa saya diberi nama seperti itu, ya karena Beliau
menganugerahi saya kulit yang memang belang, ada warna putih, hitam dan
coklat di beberapa bagian. Saya mempunyai seorang ibu yang sangat baik
hati dan penyayang. Begitu banyak pengorbanan yang dia telah lakukan
demi saya, anaknya. Yang saya ingat, pernah suatu hari, saat saya sedang
sakit dan makanan yang tersedia sangat sedikit, ibu tidak makan
seharian, membiarkan saya makan dengan banyak dan lahap. "Biar kamu
cepat sembuh nak, bisa lari-lari lagi di lapangan, bisa main petak umpet
dengan temen-temen kamu. Ibu tau, kamu sangat senang maen dan Ibu ingin
membuat kamu selalu bahagia. Karena kamu harus tau nak, kebahagian kamu
adalah kebahagiaan ibu, senyum kamu adalah senyum ibu, dan kesedihan
kamu adalah kesedihan ibu. Ketika kamu jatuh sakit, jujur nak, mungkin
ibu mu ini yang terjatuh lebih sakit" ucap Ibu saat itu.
Saya merasa bersyukur, mempunyai seorang ibu yang begitu sayang kepada
anaknya. Meski sudah tidak mempunyai ayah lagi sejak 2 tahun yang lalu,
saya pikir, sudah cukup dengan mempunyai seorang ibu, karena saya tidak
merasa kekurangan kasih sayang sedikitpun. Pernah saya menanyakan kepada
Ibu tentang ayah saya, siapa namanya, bagaimana dia meninggal. Ibu
hanya bilang kalau ayah pergi saat saya sedang dalam kandungan ibu.
"Namun bagi ibu, ayahmu itu adalah seorang pahlawan, dia seorang suami
yang sangat patuh terhadap Tuhannya dan sangat mencintai istrinya,
ibumu. Jadi jangan pernah membenci ayahmu, karena Ibu tau, dia akan
sangat menyayangi mu jika dia masih ada saat ini". Itu jawaban dari Ibu
yang selalu diingat jika saya menanyakan tentang kabar ayah. Maka
cukuplah dengan cerita itu, saya berbangga dengan ayah saya. Karena ayah
seorang pahlawan, setidaknya seorang pahlawan buat ibuku, orang yang
sangat mencintai saya.
Ada satu fenomena yang menarik, di daerah perumahan saya, setahun sekali
semua lelaki diminta berkumpul di tanah lapang. Buat yang sudah dewasa,
diminta berbaris dengan rapih, sedangkan buat saya yang masih kecil
saat itu, malah disuruh bermain dengan temen-temen yang sebaya.
Senangnya bukan main. Walaupun demikian, ada juga rasa ingin tahu di
hati, kenapa orang dewasa diminta berbaris, emang mereka mau ngapain ?
mau kemana ? apakah mereka akan pergi berperang ? ataukah mereka
dikumpulkan hanya untuk di catat nomor identitas saja ? berbagai
pertanyaan bermunculan saat itu. Namun, pertanyaan itu hilang dengan
sendirinya, terhapus oleh rasa senang bermain dan bercanda dengan
temen-temen yang lain. Ketika tiba di rumah, saya bilang ke ibu kalau
saya sangat senang hari ini karena bisa bermain seharian, tapi tetep
juga menanyakan berbagai pertanyaan yang tadi sempet muncul dipikiran.
Ibu hanya tersenyum mendengar banyak pertanyaan dari saya, dan kemudian
Ibu hanya menjawab, " itu adalah proses seleksi untuk menjadi seorang
pahlawan nak. Setiap ibu sangat bangga jika anaknya nanti menjadi
seorang pahlawan. Karenanya, Ibu ingin kamu juga menjadi seorang
pahlawan buat ibu, kamu mau kan nak ?" Mendengar pertanyaan ibu itu,
saya langsung menjawab, " tentu bu, saya ingin cepat besar, saya ingin
ikut seleksi, dan ingin menjadi seorang pahlawan". Ibu hanya tersenyum
dengan tatapan mata yang sangat dalam dan penuh dengan perasaan sayang,
dipeluknya saya dengan erat, sambil berkata dengan lembut, "ibu tau nak
dan ibu yakin, tahun depan kamu bisa lulus seleksi dan bisa menjadi
pahlawan buat ibu". Mendengar ucapan nya, hati saya berdegup kencang,
bertekad untuk segera mewujudkan harapannya di tahun depan.
Saya tinggal di kaki bukit "Munjul", salah satu daerah di Bandung
Selatan. Disini, jika kita melihat ke utara akan tampak keindahan Gunung
Tangkuban
Parahu, sedangkan jika menengok ke arah selatan, akan nampak kemegahan
Gunung Malabar. Kurang lebih 300 meter dari bukit ini, melintas aliran
Sungai Citarum yang menjadi sumber irigasi bagi sawah-sawah dan
kebun-kebun di sekitarnya, dan pagi ini, di kaki bukit, langit begitu
cerah, lebih terang dari biasanya, namun udaranya masih sangat sejuk,
rumput-rumput masih basah sisa embun semalam, ayam sudah berkeliaran di
halaman mencari makanan, burung pipit sedang berterbangan meninggalkan
sarangnya. Pagi ini adalah pagi yang sudah saya nantikan itu sejak lama.
2 hari yang lalu, ibu berkata kalau saya harus bersiap mengikuti
proses seleksi menjadi pahlawan pada hari ini. Saya sangat senang
sekali. Setelah bangun, saya melihat ibu sudah menyiapkan makanan buat
sarapan. Saya kemudian diminta ibu untuk menghabiskan semua makanan itu.
Melihat saya makan begitu bersemangat, ibu hanya tersenyum bijak.
Dengan tatapan mata yang sejuk dan penuh rasa sayang, Ibu terus
memperhatikan saya makan hingga selesai. Saya makan sangat banyak pagi
itu. Kemudian ibu meminta saya duduk karena ibu akan menyampaikan
sesuatu. Dengan suara yang lemah lembut, ibu berkata, "duhai anakku,
kamu percaya kalau Tuhan itu ada ?" Saya menjawab " Percaya bu". "lalu,
kamu tau untuk apa kita semua diciptakan di muka bumi ini ?
sesungguhnya, kita dilahirkan tak lain adalah untuk beribadah nak, untuk
mensyukuri semua nikmat-Nya, untuk memuji semua kebesaran-Nya dan untuk
diuji dengan berbagai cobaan dan tantangan. Satu kata kunci jika kita
ingin lulus dari semua cobaan dan tantangan-Nya nak, yaitu ikhlas.
Niatkan semua yang kita lakukan adalah untuk Tuhan-mu, maka hati ini
akan seketika menjadi ikhlas. Anakku, hari ini kamu akan mengejar
cita-citamu menjadi pahlawan. Luruskan niatmu nak, ibu ikhlas melepas
kepergian mu, ibu ikhlas melepas kepergianmu". Ada nada suara ibu yang
berbeda dari biasanya. Terasa begitu berat dan agak terbata-bata. Mata
ibu berkaca-kaca, menahan air mata yang muncul dengan tiba-tiba. Belum
pernah saya melihat mata ibu seperti itu, selama ini matanya tampak
begitu jernih, penuh dengan tatapan rasa sayang. Entah kenapa, dada ini
langsung terasa begitu sesak, air mata menyeruak ikut muncul di kantung
mata saya. Lalu, "sini nak, salim ke ibu" ujar ibu. Saya mendekat ke
ibu, mencium tangannya yang begitu halus, dan kemudian ubun-ubun kepala
saya tertunduk di mulut ibu, dengan hati yang tak menentu, dan saya
mendengar ibu berdoa, "Ya Rabb, hari ini saya ikhlaskan, anak hamba
untuk pergi memenuhi kewajibannya, memenuhi sunnah dari Rasul
kesayangan-Mu, Ibrahim dan Muhammad. Ya Rabb, karuniakan kepada anak
hamba, hati yang tulus dan patuh kepada semua titah-Mu, seperti hatinya
seorang Ismail bin Ibrahim, yang dengan ikhlas menjalankan semua
perintah-Mu. Mudahkan anak saya untuk kembali kepada-Mu dengan syahid,
dan kumpulkan segera kami di surga-Mu dengan penuh kebahagiaan. Ya Rabb,
perkenankan permohonan hambu-Mu ini". Selama ibu berdoa, saya hanya
mengucapkan kata "amiin" berulang ulang sambil air mata tak tertahankan
bercucuran, ini pertama kali saya mengucurkan air mata, menangis, selama
hidup saya.
****
Sholat idul adha baru saja selesai, Udin beserta istrinya, dan ketiga
anaknya berjalan terburu-buru kembali ke rumahnya. Bukan karena lapar,
karena belum sarapan, tapi karena Idul Adha kali ini jatuh pada hari
Jum'at. Jadi waktu untuk menyembelih hewan qurbannya harus lebih cepat,
agar daging hewan qurban dapat tetap terbagikan sebelum sore hari tiba.
Sesampainya di rumah, Udin kemudian menyantap sepotong ketupat dengan
opor ayam kampung buatan istrinya, lalu kemudian pergi ke halaman
rumahnya. Dipojok halaman, ada seekor domba jantan berbulu belang tiga
warna, ada putih, hitam dan coklat. Dengan usia domba yang masih muda,
domba itu terlihat sangat gagah dan lebih besar untuk domba seusianya
dan si domba itu sangat jinak. Tidak gampang mencari domba seperti itu,
Udin telah berkeliling ke seluruh pelosok di kota Bandung, mencari
domba-domba yang bagus untuk dia jadikan qurban, akhirnya Udin menemukan
domba ini di 15 km arah selatan kota Bandung, di perbatasan daerah Bale
Endah dan Cangkring. Senangnya tidak terkira, karena uang hasil Udin
menabung di celengan kambing nya itu, mencukupi buat beli domba sebagus
ini. Si Domba ini kemudian Udin lepas tali pengikatnya, dan dituntun
menuju mesjid di dekat rumahnya.
Hari ini, 10 Dzulhijah, Udin berqurban kembali di rumahnya.
Hari ini, 10 Dzulhijah, doa ibu Si Belang terwujud, anaknya mati syahid.
25 Oktober 2012
0 Comments:
Post a Comment