Masalah klasik dalam pelaksanaan demokrasi di
Indonesia adalah permasalahan budaya. Maksudnya, karena demokrasi masih
dianggap hal baru, komunitas baru, lingkungan baru dimana para politisi dan
partai politiknya, masyarakat, dan regulasi-regulasi yang mengaturnya sebagai
komponen dari demokrasi, maka interaksi
dari komponen tersebut nantinya akan menghasilkan satu budaya demokrasi yang
baru pula. Budaya yang diharapkan muncul, tentunya budaya demokrasi yang baik,
santun, dan budaya yang sifatnya people oriented, berorientasi kepada
kesejahteraaan rakyat dan kemakmuran bangsa, bukan sebuah budaya yang sifatnya
orientasi kepada kepentingan penguasa, partai politik dan kepentingan
segelintir orang.
Guna menghasilkan budaya yang baik, santun dan
people oriented itu, tentunya akan terjadi apabila para politisi dan partai
politik dapat mengenyampingkan kepentingan individu dan golongannya, masyarakat
secara luas mendapatkan pendidikan dan sosialisasi tentang proses demokrasi
yang baik dan benar, dan yang terakhir, tapi mungkin ini yang paling penting
adalah adanya regulasi yang dapat mengatur semua proses demokrasi itu secara
baik dan benar, mengakomodir semua kepentingan, dan lebih mengu tamakan kepada
kedaulatan Negara sebagai Negara hukum
yang berdemokrasi. Poin penting
dari dukungan regulasi yang mumpuni adalah
harus adanya sifat Negarawan dari para ahli hukum tata Negara kita,
misalnya Prof. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Ryaas Rasyid dan para ahli lainnya.
Mereka sesungguhnya yang bisa mengontrol proses perkembangan kehidupan
demokrasi di Indonesia agar tidak salah
jalan, tidak kebablasan. Mereka seyogyanya tidak terjebak oleh politik praktis,
sehingga pemikiran-pemikiran objektifnya dapat lebih dioptimalkan demi kemajuan proses
demokrasi di Negara kita.
Lalu, budaya demokrasi seperti apa yang
sekarang terjadi di masyarakat ? bagaimana budaya yang terbentuk diantara para
calonlegislatif saat akan dilaksanakan Pemilu Legislatif ? Bagaimana budaya
yang terjadi diantara para calon presiden saat akan dilaksanakan pemilu pilpres
? Bagaimana budaya yang muncul saat akan terjadi Pemilihan Kepala Daerah dimana
para petahana (kepala dan wakil) kembali mencalonkan dengan pasangan masing –
masing ? Bagaimana budaya politik saat akan terjadi pemilihan kepala desa
dimana mayoritas penduduk desa belum mengenyam pendidikan politik yang memadai
?
Khusus untuk budaya saat akan Pemilihan Kepala
Daerah dimana para petahana kembali mencalonkan. Hal ini yang paling rawan
konflik dibandingkan dengan proses demokrasi yang lainnya. Kenapa begitu ?
karena para petahana itu cenderung menggunakan berbagai infrastruktur dan
suprastruktur pemerintahan yang ada dengan agar dapat terpilih menjadi kepala
daerah. Dan itu lazim terjadi. 1 sampai dengan 2 tahun terakhir
kepemimpinannya, maka dipastikan mereka umumnya tidak focus kepada pemerintahannya,
tidak khawatir jikalau pencapaian visi-misi pembangunan daerahnya tidak sesuai
dengan target yang ditetapkan, tapi lebih khawatir dengan jabatannya yang akan
segera berakhir, lebih khawatir jika tidak terpilih kembali. Agaknya
mereka-mereka itu sangat percaya dengan pameo yang menyebutkan bahwa “berhasil
atau tidaknya seorang kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya selama 5 tahun itu,
ditentukan pada masa pilkada setelahnya, jika terpilih kembali maka kepala
daerah itu berhasil melaksanakan tugasnya, namun jika kalah, maka kepala daerah
itu gagal dalam melaksanakan tugas”.
Indonesia memang sedang belajar berdemokrasi,
namun belajar mandiri tanpa guru yang pasti dan kurikulum yang memadai.
(7/09/2012)
0 Comments:
Post a Comment