Perlu suatu objektivitas yang tinggi manakala
kita mencoba bicara tentang paham atau aliran – aliran yang ada di Islam di
Indonesia. Ya Kenapa di Indonesia ? karena konon katanya, di Arab Saudi atau di
Timur Tengah nya sendiri tidak ada paham atau aliran ini. Disana pada umumnya terbagi hanya menjadi 2 (dua)
saja, yaitu aliran syiah dan sunni.
Tapi di Indonesia sendiri, aliran-aliran itu
terbagi menjadi 4 (empat) aliran mayoritas, Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
Persatuan Islam (Persis) dan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Khusus yang ke empat ini,
saya masih harus mendalaminya lebih jauh lagi. Tapi buat NU, Muhammadiyah dan
Persis rasanya waktu masa-masa sekolah, begitu sering dibahas tentang perbedaan
dan karakter ibadah seseorang yang meyakini salah satu dari 3 mahdzab tersebut.
Kalau dilihat dari kacamata historis, perkembangan ketiga mahdzab ini tidak
dapat dipisahkan dari perjuangan Indonesia dalam melawan penjajah dahulu.
Kecuali Persis, pendiri NU dan Muhammadiyah adalah para pahlawan nasional yang
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara langsung.
Nahdatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim
Asy’ari, Muhammadiyah oleh KH. Achmad Dahlan dan Persis, tidak lah jelas
didirikan oleh siapa, tapi Tokoh Pengembangan yang paling kuat adalah A. Hassan.
Dalam basis pergerakannya di tanah air, ketiga aliran ini berkolaborasi dalam
caranya masing – masing untuk membesarkan agama Islam di Indonesia. Bisa
dilihat dalam jejak langkahnya selama ini. NU lebih focus kedalam jalur
politik, Muhammadiyah kepada jalur pendidikan dan Persis kepada jalur tata cara
ibadah. Sehingga jangan lah heran, kalau para tokoh NU adalah para tokoh
politik di tanah air, dan hampir di setiap kota, terdapat sekolah dasar hingga
universitas muhammadiyah. Dalam tata cara beribadah, akan tampak secara nyata
perbedaan seseorang yang meyakini NU, Muhammadiyah dan Persis. Beberapa ciri
menonjol yang ada dalam setiap aliran itu adalah “shalawatan” di NU, Hisab
Wujudul hilal di Muhammadiyah dan Tatacara sholat seorang Persis.
Shalawatan di NU menjadi suatu hal yang sangat
wajib bagi para kaum nahdiyin, Shalawat dengan cara berteriak mengagungkan
keesaan Allah Swt dan juga kebesaran Rasulullaah SAW. ‘Semakin keras anda
berteriak, maka semakin itu bagus” begitu menurut salah nahdiyyin yang saya
kenal baik. Biasanya dilaksanakan setiap selesai sholat. Jujur, saya sering
mengikuti shalawatan yang seperti ini, namun
entah kenapa, hati ini kok tidak sreg ya. Saya lebih senang dengan cara
berteriak dalam hati daripada berteriak lantang.
Adapun Hisab Wujudul Hilal yang diyakini oleh
Muhammadiyah, selalu menjadi penyebab terjadinya start yang berbeda dalam
penentuan 1 Ramadhan dan 1 syawal di Indonesia sehingga 2 lebaran sering
terjadi saat ini. Hal ini tidak menjadi masalah. Namun, hingga saat ini, saya
lebih sering mengikuti instruksi pemerintah saja. Bukan karena saya seorang
abdi negara, tapi hati memang lebih sreg
mengikuti apa yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Sementara, jika anda mendengar Iqomat dengan
ucapan “Allahuakbar” hanya satu kali, kemudian langsung sholat tanpa baca niat
(Usholli…..dst) dan menggerak-gerakan telunjuk saat itidal, maka dia pasti
seorang Persis. Hati saya lebih sreg yang ini. Hanya saja, seorang Persisian
seringkali terlalu yakin akan keyakinan, sehingga menganggap hal lain itu
adalah sebuah bid’ah yang harus ditinggalkan. Padahal dalam da’wah, nampaknya
perlu ada proses perubahan, dan biarkan proses itu terjadi secara alamiah.
Dengan demikian, output dawah itu sendiri akan lebih mengakar dan menyebar di
masyarakat muslim lainnya.
Saya bukanlah NU, Muhammadiyah ataupun seorang
Persis Saya hanyalah Muslim (04/09/2012)
0 Comments:
Post a Comment