Ada gemuruh lain dalam dada, saat melihat seorang lelaki paruh baya
beserta istrinya berjalan memasuki mobilnya, sebuah isuzu panther warna gelap.
Dua orang tersebut dilihat dari raut wajahnya sangat gembira. Kedamaian
terpancar dari pandangannya dan nampak suatu semangat hidup yang luar biasa.
Raga dan rasa kemudian terkenang
kembali ke kurun waktu tahun ’93. Kala itu, sesaat sebelum adzan subuh
berkumandang, seorang perempuan duduk diatas sajadah merah, selesai shalat
tahajud nampaknya. Matanya sembab, nampak habis berurai air mata, entah
kenapa. Tapi dari wajahnya, bisa
dikira-kira kalau perempuan itu habis menangis bukan karena kesedihan, tapi
menangis mengucap syukur atas apa yang telah Allah karuniakan kepadanya.
Benar saja, perempuan itu berkata
: “Nak, alhamdulillaah, tahun ini ibu akan memenuhi rukun Islam ke 5,
melaksanakan sunah rasulmu, melaksanakan kewajiban buat umat muslim yang mampu,
ibu akan berhaji. Seseorang yang berbaik hati, telah ikhlas melunasi ongkos
naik haji ibu dan bapakmu”. Mendengar perkataan itu, sang anak tak hentinya
mengucapkan rasa syukur, ikut berbahagia karena orang tuanya akan pergi haji.
Meski mungkin belum mengerti secara utuh makna pergi haji, tapi melihat
kebahagiaan Ibunya, Sang Anak turut senang mendengar kabar itu.
Pergi beribadah ke tanah suci
buat kebanyakan orang adalah sebuah cita-cita yang sangat tinggi, melebihi dari
apapun di dunia ini. Dan buat orang-orang seperti itu, biasanya memiliki
keyakinan bahwa Allah swt akan memberikan kemudahan dalam mendapatkan rezekinya
ataupun memberikan cara lain mengundang umatnya untuk dijamu di Masjidil Haram.
dan kalau kita membaca buku, begitu banyak kisah kisah keajaiban tentang
“sasakala” seseorang bisa pergi ibadah haji.
Diri ini mencoba menyelami
keyakinan akan keajaiban naik haji, terlepas dari pertolongan Allah dalam
memberi rezeki, namun yang lebih dahsyat itu sepertinya karunia Allah swt yang
telah memberikan hidayah dan memberikan ketetapan hati dalam diri hambanya
untuk terus ikhtiar dan istiqomah dalam berniat melaksanakan ibadah haji.
Kalaupun kita harus memilih derajat syukur kepada Allah, tidak salah jika kita
harus lebih bersyukur karena karunia ke tauhid an kepada diri ini dibandingkan
nikmat-nikmat Allah yang lain yang tidak terhitung banyaknya.
Tak disangka, kejadian 19 tahun yang lalu itu, seakan akan terulang
melihat pasangan ibu bapak yang memasuki
mobil panther warna gelap tadi. Masih
dalam keadaan ber ihram, selesai bermanasik,
mereka tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang (mungkin) iri akan
“undangan“ Allah yang telah mereka terima, yang pasti aura kebahagiaan
mereka itu terpancar memenjar oleh sinar
matahari pagi di kawasan mesjid Istiqomah.
Sementara, seorang Bela yang sedang mengayuh sepeda putihnya menuju
tempatnya bekerja, seketika memberhentikan laju sepedanya. Teringat peristiwa
19 tahun yang lalu. Namun dengan satu rasa yang berbeda dan satu pertanyaan
yang kepada dirinya sendiri; “Kapan Saya
akan Berhaji ?” Kapan saya bisa bersujud, mengucap syukur dan mengucap tobat
di Tanah Haram Mu ?”
Izin kah saya beribadah ke
Masjidil Haram Mu Ya Allaah..........Amiinnn
11 September 2012
0 Comments:
Post a Comment