Boleh saya bercerita tentang suatu permukiman
yang menawan, di selatan kota Bandung. Jujur, saya tidak tahu berapa luasnya daerah
ini, hanya saja dalam pandangan saya pada tahun ’90 – ’97 an, daerah ini sangat
sudah tertata dengan rapih. Betapa tidak, jalan arteri sekunder dan kolektor primer
begitu tertata dengan baik dan mempunyai
lebar jalan yang besar sehingga dapat menyokong fungsi jalan arteri primer yang
memang menjadi jalur penghubung dari
kota Bandung ke kota-kota satelit di sekelilingnya.
Bicara fasilitas, ini yang semakin kagum, di
permukiman terdapat beberapa kantor pemerintahan yang besar, sebut saja, kantor
pengadilan negeri, kejaksaan negeri dan kantor departemen agama, serta ada juga
kantor PLN yang berdiri megah disana. Kemudian
sarana pendidikan, lengkap semuanya, dimulai dari sebuah taman kanak-kanak
sampai Universitas ada disitu. Jangan lupa, sekolah luar biasa pun ada disana. Adanya
Mesjid Agung dan pesantren nya menjadikan
suatu nilai plus bagi sebuah permukiman. Selain itu, fasilitas sebuah Rumah Sakit
Umum dan Pasar tradisional yang representative menjadi magnet buat penduduk
yang tinggal berdekatan untuk hilir mudik beraktivitas di
permukiman itu. Ruang terbuka hijau begitu dominan disana dan berhasil menambah nilai
keasriannya.
Tahun 90’an, hanya ada 4 kompleks besar yang
terdapat dalam permukiman tersebut, diantaranya adalah kompleks wartawan
dan kompleks TNI AD. Sedangkan sisanya adalah perumahan umum dengan penataan rumah
yang sangat tertata rapih dan penduduk yang tidak begitu padat. Aktivitas penduduk utama
nya adalah sudah variatif, tidak melulu bekerja sebagai petani, justru kebanyakan adalah para pekerja
pemerintahan, swasta dan pelaku usaha kecil.
Dengan segala sarana dan prasarana seperti itu,
kiranya wajar kalau disebut sebuah permukiman ideal untuk ditinggali dan membesarkan keluarga di
daerah tersebut.
Namun dibalik segala semua itu, di batas ujung
utara terdapat sebuah aliran sungai Citarum yang mengalir dari arah selatan
mengalir terus ke arah barat daya. Sejatinya
aliran sungai ini menambah keindahan permukiman itu, tapi yang terjadi justru
kebalikannya. Sungai itu menjadi titik penghancur keindahan permukiman
tersebut, hal ini karena daerah aliran sungainya sangat berkelok dan adanya
erosi dari hulu menyebabkan sungai tersebut menjadi dangkal. Banjir sangat
besar pernah terjadi pada tahun 1985, sungai Citarum meluap, dan menutupi hampir 95 persen pemukiman tersebut. Banjir
itu melumpuhkan daerah Bandung Selatan, termasuk permukiman itu didalamnya.
Banjir itu
tampaknya menjadi suatu titik henti
pertumbuhan permukiman tersebut. Sehingga pada kurun tahun 90’an seperti
yang
digambarkan di awal tulisan ini, ternyata permukiman itu sedang berada
dalam
stagnasi pembangunan yang justru menjadi berkah tersendiri buat penduduk
yang tinggal disana. Kompleks perumahan tidak tumbuh dengan cepat.
Sawah-sawah
belum berubah fungsi. Jalan arteri sekunder dan kolektor masih bisa
dilalui
dengan nyaman oleh para pejalan kaki dan juga merupakan “arena” yang
nyaman
buat bersepeda di pagi dan sore hari, atau buat jogging dan berolahraga
lainnya. Lalu bagaimana situasi nya sekarang ? ah, jengah rasanya saya
untuk menceritakannya.
Yang pasti, sudah tidak se-asri dulu, tidak seindah dulu dan tidak
senyaman
dulu. Hanya tinggal sedikit tersisa ke"endah"an dari permukiman itu.
Btw, sebut saja permukiman itu dengan sebutan “Bale
Endah”
5 Oktober 2012
Sumber: http://abatabee.blogspot.com/2012/10/permukiman-menawan-di-selatan-kota.html
0 Comments:
Post a Comment