Metode Kepemimpinan Pertempuran menjadi salah satu buku yang sedang saya
baca akhir - akhir ini. salah satu poin penting dari buku itu
diungkapkan bahwa seorang pemimpin itu dibentuk bukan dilahirkan,
dibentuk oleh lingkungan dan budaya dimana individu itu berada. Diungkap
dalam bacaan saya itu kalau seseorang yang pernah menjadi pemimpin
medan pertempuran maka dia akan berhasil dalam mengatasi berbagai
permasalahan kepimimpinan di bidang-bidang lain, karena saat bertempur,
hingga saat ini masih diyakini oleh banyak orang, dimana saat itu
merupakan tahap ujian terbesar bagi seorang pemimpin, ada benarnya juga,
meski saya tidak percaya mutlak terhadap pemikiran tersebut.
Adalagi salah satu metode kepemimpinan yang selalu di koar-koar pada
saat apel pagi oleh Bapak Profesor yaitu metode kepemimpinan permusuhan.
Menurutnya metode ini pada intinya adalah Beliau sebagai atasan akan
memusuhi orang-orang yang tidak bekerja dengan baik, yang tidak well
performed, dan sepertinya arti dari kata memusuhinya pa profesor adalah
dengan mengacuhkannya, menganggap orang tersebut tidak ada dalam
kehidupan kerja nya yang memang 24 jam itu (kaya circle q aja nya). cara
itu menurut saya terasa akan lebih kejam buat orang - orang timur,
sunda khususnya, yang begitu banyak mengedepankan tata titi dalam ber
tatakrama dan berbahasa.
Namun kembali kalau saya boleh berpendapat, saya tidak sepemikiran
dengan 2 model kepemimpinan diatas. Yang pertama, saya (entah kenapa)
masih percaya bahwa pemimpim itu dilahirkan bukan dibentuk. Kemudian,
tidak ada jaminan bahwa seseorang yang telah berhasil memimpin perang di
medan pertempuran dapat begitu saja menjadi pemimpin di sektor lain
dengan mudah. Karena ada perbedaan mendasar yang harus digarisbawahi
yaitu tentang spirit pegawai dan adanya garis komando antara Pemimpin
(Komandan) dengan anak buah (Prajurit). Hal tersebut menjadi penting
karena nilai semangat anak buah dan pimpinan menjadi titik penggerak
suatu organisasi/perusahaan/instansi.
Terlebih lagi jika menukik ke dalam konteks kepemimpinan di pemerintah
(daerah). Seni memimpin akan menjadi lebih kompleks lagi karena harus
dapat menembus sekat-sekat budaya yang menempel di setiap individu di
instansi pemerintah tersebut, seperti sekat senioritas, sekat mayoritas,
minoritas, dan sekat kekerabatan yang begitu kental.
Yang kedua, sangat menentang metode kepemimpinan permusuhan, karena
dengan merasakan implementasi yang terjadi saat ini, batasan antara
pekerjaan dengan sosialitas terlalu bias untuk dapat dipisahkan,
sehingga konflik yang terjadi di dalam pekerjaan (biasanya) akan terbawa
kedalam lingkungan kita bermasyarakat, atau gampangnya, jika kita ber
sitegang, beradu pendapat atau terdapat ketidaksepahaman dalam suatu hal
di pekerjaan, idealnya tidak berpengaruh ke dalam standar hubungan
sosial yang lakukan di luar kantor, tapi pada kenyataannya hal itu pasti
akan terbawa ke dalam lingkungan sosial di masyarakat dimana kita
berinteraksi.
Lalu kalau ditanyakan, apa metode kepemimpinan yang saya sukai ? saya
tahu jawabannya, tapi jujur sampai saat ini saya belum tahu, termasuk ke
dalam metode apa tipe kepemimpinan yang saya sukai itu, atau sebut saja
dulu, metode kepemimpinan "Kumaha Saena" saja dulu ya. Mungkin kalau
suatu hari saya tahu namanya, akan saya sharing lagi di lain waktu.
udah ah, apel pagi heula !!
Sumber: http://abatabee.blogspot.com/2013/01/pemimpin-kumaha-saena.html
0 Comments:
Post a Comment